Dari kecil, aku terbiasa dengan rambutku yang panjang. Dia selalu membuatku terlihat cantik dengan rambutku yang dibuat berbagai macam. Aku ingat, dia yang mengambilkan rapotku di sekolah walaupun tenaganya tidak lagi seperti masa mudanya. Aku ingat, ketika dia selalu menunggu kepulanganku hingga tidak tidur dan rela berjalan kaki sejauh apapun untuk memastikan keberadaanku. Aku juga ingat, ketika aku pulang dan aku membuka pintu kamarnya lalu dia tersenyum dengan tubuhnya yang lebih berisi dibandingkan pertemuan sebelumnya.
Tetapi, juga banyak hal lain yang tidak kalah aku mengingatnya. Ketika dia di rumah sakit dan aku menunggunya, saat dokter mengharuskan perawatan intensif tetapi keluargaku justru membawanya pulang, saat dia terbaring tidak bisa melakukan apapun, saat dia tidak bisa tidur dan membuat semua orang yang menunggunya juga tidak ikut tertidur, saat aku menyuapinya bahkan memandikannya. Terutama ketika satu minggu sebelum Allah memanggilnya dan aku berada di sampingnya. Pagi, siang, ataupun malam yang dia rasakan tak karuan, diajak bicara pun rasanya tidak akan didengar, meminta teh manis 02.30 malam sedangkan persediaan gula benar-benar habis, aku tetap harus keluar mencari gula dan memastikan agar dia tidak bersuara supaya tidak seorang pun memarahinya. Aku juga ingat, saat dia memintaku membaca Al-Quran di sebelahnya dan dia tertidur lelap sambil memegang tanganku erat sedangkan aku sibuk menahan tangisku sendiri. Di malam terakhir aku menemaninya, sedangkan rasanya tidak mungkin ia ku ajak bicara, dia berbicara sesuatu seolah dia sadar dengan apa yang sedang ia alami. Katanya, “Eka, semoga Allah balas semua kebaikan Eka. Emak sayang sama Eka.”
Kau harus tau, kalau kau masih di sini akan aku ceritakan semua yang terjadi. Membahagiakanmu saja rasanya belum sempat, tetapi untuk menangis di dekatmu saja aku sudah tidak bisa.
Komentar